Editorial KabarBerita
Jumat, 13 Juli 2018
Suara rakyat, suara umat. Mungkin slogan itu akan cukup menjual pada perhelatan Pilpres 2019 mendatang. Berkaca dari Perhelatan Pilkada DKI 2017 yang fenomenal, kekuatan umat mulai dipandang serius dalam kontestasi demokrasi.
Kubu pemerintah yang diwakili oleh kekuatan istana nampaknya mulai belajar dari kekalahan Pilkada DKI lalu. Calon yang digadang-gadang bisa menang telak berdasar hasil survei terjungkal oleh konsolidasi suara umat. Sejak itu, ada semacam dinding pemisah yang lebar antara kekuatan umat dengan istana.
Menyadari hal itu, istana mulai belajar dan bersikap cukup rasional pada Pilkada serentak 2018. Simbolisasi menggandeng umat benar-benar dilakukan oleh istana untuk setidaknya mendekatkan jarak dinding pemisah tersebut. Pada Pilkada Jabar 2018, pemenang berdasar hasil pleno KPU yakni pasangan Ridwan Kamil-Uu benar-benar melakukan simbolisasi agama lewat diri Uu.
Di Pilgub Jawa Timur, usai terus kalah pada pilgub-pilgub sebelumnya PDIP mulai realistis dan memilih merapat bersama Gus Ipul, yang disokong pada Kiai Senior. Meskipun pada akhirnya Gus Ipul kalah, tetapi pilihan menggandeng Gus Ipul merupakan sikap realistis istana untuk tidak lagi berhadap-hadapan dengan kekuatan umat. Lagipula istana juga cukup senang karena Khofifah pun dekat dengan penguasa saat ini.
Yang cukup menarik adalah Pilgub Jawa Tengah. Sebagai kandang Banteng, PDIP dari beberapa penyelenggaraan cukup pede untuk mengusung kader-kadernya sendiri di posisi calon gubernur maupun wakil gubernur. Sebagai daerah basis PDIP, pilihan mencalonkan kader sendiri adalah pilihan yang sangat logis.
Namun, pilihan itu tidak diambil. Lagi-lagi harus ada simbolisasi agama dan umat dalam pasangan calon. Maka dipilihlah satu putra tokoh kharismatik NU di Jawa Tengah, KH Maimoen Zuber yakni Gus Yasin. Pilihan menggandeng simbol Islam di Jawa Tengah memang tidak lazim bagi PDIP. Tetapi hal itu cukup realistis digunakan saat ini.
Selain itu secara nasional, istana mulai gencar menarik simbol-simbol Islam dalam lingkaran kekuasaan, endorser ataupun kebijakan-kebijakan yang ingin mendekati umat.
Langkah ini dimulai dengan merekrut Din Syamsuddin sebagai Utusan Khusus Presiden dalam bidang dialog dan kerja sama antaragama serta peradaban. Kemudian melakukan SP3 pada dua kasus yang menjerat Habib Rizieq Shihab. Teranyar menjadikan Tuan Guru Bajang, tokoh sentral Nahdlatul Wathan sebagai endorser Jokowi dua periode.
Bahkan, kantor berita negara Antara melakukan endorse massif dalam pemberitaan dengan menyorongkan dua nama sebagai calon wakil presiden Jokowi, KH Ma’ruf Amin dan Mahfud MD. Langkah yang amat jarang dilakukan kantor berita resmi sekelas Antara. Tetapi hal itu bisa terbaca dengan jelas dalam satu hari nama KH Ma’ruf terus dimunculkan. Keesokannya giliran Mahfud MD yang menjadi bintang. Keduanya disimbolisasikan sebagai representasi NU, kekuatan organisasi Islam tradisional terbesar di Indonesia.
Langkah-langkah taktis dari istana tersebut menunjukkan jika suara umat Islam adalah penentu dari kontestasi Pilpres 2019. Ke depan, istana diprediksi akan terus menggandeng simbol-simbol umat Islam untuk menjadi calon wakil presiden, endorser atau bergabung ke pemerintahan dengan posisi-posisi tertentu.
Sementara kubu penantangnya yang sebelumnya terkonsolidasi kuat sebagai representasi umat Islam masih belum menemukan formula terkait figur-figur yang akan maju. GNPF Ulama sebagai aktor utama Aksi Bela Islam yang fenomenal itu mulai melakukan konsolidasi dengan partai politik. Pertama yang dikunjungi adalah petinggi PKS yang dianggap memiliki kesamaan platform dan pencetus gerakan #2019GantiPresiden.
Jika tak ingin tergerus, GNPF Ulama dan elemen umat lain harus rutin menggelar konsolidasi. Selain itu harus para ulama yang memiliki basis massa besar harus melakukan endorses secara nyata dan jelas dukungan terhadap gerakan #2019GantiPresiden usai penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden nanti.
Oh ya, satu hal yang pasti dari fenomena digandengnya simbol-simbol Islam dalam kontestasi demokrasi adalah tidak lakukan jargon sekularisme yang ingin memisahkan total urusan politik dengan agama. Gerakan sekularisme yang dicirikan ada dalam pemerintahan sekarang nampaknya harus kecewa karena yang didukung justru menjadikan simbol agama sebagai jualan politik jangka pendek.
Karena sekali lagi harus diakui, bangsa ini besar karena dukungan dan sokongan umat Islam. Jika ingin kembali besar, maka nampaknya kekuatan umat Islam sekali-kali tak boleh ditinggalkan.
Tim Redaksi
KabarBerita