Jakarta, KabarBerita.id — Tak semua laki-laki bisa disunat. Laki-laki tertentu dengan hipospadia tak bisa mengikuti prosedur sunat atau sirkumsisi.
“Sunat penting karena bisa mencegah gangguan berkemih bahkan infeksi saluran kemih bisa dicegah. Tapi orang yang mengalami hipospadia justru tak bisa menjalankan prosedur ini,” kata dokter spesialis urologi di Eka Hospital Cibubur Gampo Alam Irdam, Alam dalam keterangan tertulis, Senin (17/7).
Hipospadia, kata Alam, merupakan kelainan anatomi penis. Hal ini ditandai dengan muara saluran kencing yang letaknya di bagian bawah dari tempat yang seharusnya.
Umumnya saluran kencing ada di ujung kepala penis. Namun, saluran atau lubang kencing pada orang hipospadia akan terdapat di bawah atau di kantung kemaluan hingga selangkangan.
Hipospadia sendiri, sebut Alam, merupakan kondisi yang umum ditemui. Dari sekitar 300 kelahiran anak laki-laki, sebanyak 1 di antaranya mengalami hipospadia.
“Parahnya, kelainan ini sering sekali dijumpai. Dari 300 kelahiran anak laki-laki, 1 diantaranya bisa mengalami kelainan ini,” katanya.
Biasanya, anak yang mengalami hipospadia akan menunjukkan beberapa tanda seperti letak lubang kencing tidak di ujung penis, kurva penis mengarah ke bawah, bentuk kulup abnormal, misalnya lebih lebar, kelainan bentuk penis dan kantung kemaluan, testis atau buah zakar tidak berada pada kantung kemaluan serta urine tidak memancar lurus.
Apa penyebab hipospadia?
Belum diketahui pasti apa penyebab kelainan ini. Tapi, menurut Alam, ada beberapa faktor risiko yang bisa meningkatkan seorang anak mengalami hipospadia.
Misalnya, genetik, kelahiran prematur, penggunaan kontrasepsi hormonal ibu yang tidak tepat, terpapar zat tertentu seperti pestisida hingga asap rokok.
“Dan wanita hamil di atas 35 tahun yang mengalami obesitas berisiko melahirkan anak dengan beberapa kelainan, salah satunya hipospadia,” katanya.
Penanganan hipospadia
Penanganan paling sering dilakukan melalui prosedur bedah atau operasi. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki letak muara uretra atau lubang kencing dan kelainan bentuk genitalia lainnya.
“Tindakan operasi bisa dilakukan pada bayi usia 3-18 bulan,” katanya.
Pada beberapa kasus, operasi tak hanya dilakukan satu kali, tapi beberapa tahap. Hal ini tergantung pada tingkat keparahan kelainan.
Setelah operasi, diharapkan lubang kencing, bentuk genital, dan fungsinya bisa optimal dan bertahan hingga si anak dewasa.