Anak Disabilitas Korban Kekerasan Seksual Lapor ke LPSK

Jakarta, KabarBerita.id — Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menerima laporan tindakan kekerasan yang dialami seorang anak perempuan penyandang disabilitas di Makassar, Sulawesi Selatan.
Tindakan kekerasan seksual tersebut dilakukan tiga pria yang telah diburu dan ditangkap aparat kepolisian.

“Kami lega keluarga korban bersedia untuk mengajukan perlindungan kepada LPSK, selanjutnya kami akan langsung telaah permohonan perlindungannya,” kata Wakil Ketua LPSK Livia Iskandar melalui keterangan tertulis, Minggu (24/1).

LPSK telah melakukan kunjungan langsung ke kediaman korban dan bertemu pihak keluarga. Dari pertemuan tersebut didapati bahwa korban membutuhkan perlindungan ekstra dan pendampingan hukum.

Livia mengatakan dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak penyandang disabilitas membutuhkan perhatian khusus dari semua pihak. Di Sulawesi Selatan, kasus kekerasan seksual kerap menargetkan kaum disabilitas.

“Kami menemukan kasus korban disabilitas rungu-wicara diperkosa beramai-ramai (gang rape) di Soppeng dan Makassar. Ada juga disabilitas rungu-wicara yang diperkosa tetangganya sampai hamil dan melahirkan di Makassar, ada juga korban anak disekap dan diperkosa berhari-hari di Enrekang,” ujarnya.

Livia mengatakan dari 2020 sampai Januari 2021, sudah ada setidaknya 14 korban tindak pidana yang memiliki disabilitas. Sebagian besar dari korban tersebut yang ditangani LPSK terkait kasus kekerasan seksual.

Untuk itu, Livia mengimbau agar keluarga mewaspadai potensi bahaya kekerasan seksual yang umumnya bermula dari aktivitas di dunia maya. Ia meminta orang tua menjaga aktivitas anak yang kian intens menggunakan internet selama pandemi Covid-19.

Komnas Perempuan mencatat 79 persen dari kasus kekerasan seksual pada 2019 dialami oleh perempuan disabilitas. Angka ini tak jauh berbeda dari tahun 2018, yakni mencapai 69 persen.

Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat mengatakan perempuan dengan disabilitas intelektual, tuli wicara dan psikososial merupakan yang paling rentan mengalami kekerasan seksual. Menurutnya harus dibentuk kebijakan perlindungan yang lebih ketat bagi penyandang disabilitas.

Komnas Perempuan, kata dia, juga mendapati hambatan yang kerap dihadapi perempuan penyandang disabilitas dalam mengakses keadilan ketika berhadapan dengan kasus kekerasan seksual. Baik dari keluarga, masyarakat, penegak hukum, hingga keterbatasan payung hukum yang tersedia.

Ia mengatakan keluarga dan masyarakat kerap tak memandang penting kekerasan seksual yang dialami perempuan disabilitas. Petugas layanan dan aparat penegak hukum pun banyak yang belum memahami keragaman disabilitas dan kebutuhan khusus yang mereka butuhkan dalam mengakses layanan.

“Keterbatasan payung hukum yang mengenali berbagai kasus kekerasan seksual dan sistem pembuktian, seperti metode pengambilan kesaksian dan kekuatan pembuktian dari disabilitas intelektual dan psikososial yang diragukan ingatannya,” kata Rainy dikutip melalui situs resmi Komnas Perempuan.

Tinggalkan Balasan