JAKARTA, Kabarberita.id – Beberapa pekan terakhir ini, publik digaduhkan dengan kasus hukum yang menimpa Setya Novanto (selanjutnya SN), Ketua DPR RI sekaligus tersangka kasus mega korupsi e-KTP. Sejak awal, kasus ini menjadi perhatian publik mengingat jumlah kerugian negara yang fantastis, sekitar 2,3 triliun, serta menyasar sosok yang selama ini dikenal licin.
SN bahkan membuat publik terkaget-kaget ketika ia memenangkan gugatan Praperadilan dan lolos dari jeratan tersangka.
Kegaduhan semakin riuh ketika SN kerap absen dalam persidangan dan ia ditetapkan sebagai tersangka untuk yang kedua kalinya.
Pada saat bersamaan, publik yang lebih percaya terhadap penegakan hukum KPK dihadapkan pada manuver kubu SN, terutama statement pengacaranya, Frederich Yunadi, yang kerap menistakan akal sehat dan nalar bangsa ini. Kegaduhan semakin menjadi ketika ada kelompok tertentu yang berusaha menggeser kasus ini dari ranah hukum ke ranah politik, terutama dikait-kaitkan dengan peta politik dan konstelasi pada 2019.
Menanggapi hal ini Mustafa Afif, Peneliti muda Madjid Politika mengatakan, bahwa tak seharusnya kasus yang murni persoalan hukum ini dikaburkan menjadi masalah politik.
“saya menduga ini adalah propaganda kelompok tertentu yang patut diduga berafiliasi dengan SN, atau jangan-jangan pendukung SN, untuk menciptakan kegaduhan baru terutama di kalangan elit politik. Jelas sekali ini adalah persoalan hukum, SN tersangka lagi dan sudah ditahan!” ungkapnya, Rabu (22/11/2017).
Lebih lanjut menurutnya, ini adalah manuver klasik yang dilakukan oleh kelompok pembela SN untuk meretakkan hubungan harmonis antara Presiden dengan Wakil Presiden, pada satu sisi, sekaligus untuk mengadu domba antara Presiden dengan KPK, pada sisi yang lain. “saya melihatnya seperti itu. Ada kelompok yang ingin mengompori hubungan Presiden dengan Wakil Presiden. Berharap amunisi ini ampuh untuk meredam riuhnya pemberitaan.
Afif menjelaskan, bahwa Presiden Jokowi sudah jelas komitmenya terhadap SN dan mendorong proses hukum. Sementara itu, Jusuf Kalla pun mempunyai pandangan yang serupa. Bahkan Wapres mendapatkan pujian, salah satunya dari ICW, terkait dukungannya terhadap penegakan hukum yang dilakukan KPK untuk kasus korupsi e-KTP.
Meskipun kemudian ada isu miring tentang Wapres terkait Pilpres, kiranya publik sudah mafhum, bahwa sikap JK itu murni untuk kepentingan pemberantasan korupsi, tidak ada kepentingan untuk untuk 2019. Apalagi, saat Rakernas Partai Nasdem, JK mengatakan keinginannya untuk “istirahat” dan lepas dari aktivitas politik.
“Jadi, tudingan bahwa Wapres ingin merebut tiket Capres 2019 adalah isu murahan. Justru saya melihat Wapres dan Jokowi akan saling support” tuturnya
Selain itu, kelompok tersebut ingin mempertentangkan Presiden dengan KPK. Ini jelas tampak sekali, karena menurutnya “kita bisa melihat bagaimana manuver untuk meminta perlindungan kepada Presiden serta perlunya izin Presiden untuk memanggil SN. Jelas ini mengada-ada dan bertujuan untuk mengadu domba. Mereka adalah orang sesat yang menyesatkan” imbuhnya tegas.
Justru menurutnya, kelompok yang berusaha menarik-narik kasus hukum ini ke ranah politik, perlu dipertanyakan komitmennya terhadap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Ini soal komitmen bersama. Maka apapun manuver genit yang dilakukan oleh kelompok pembela SN, pada akhirnya penegakan hukum akan selalu menang. Tersangka koruptor selalu tak punya tempat di hati rakyat, kecuali di lidah para pembelanya.
Sementara itu, terkait dengan persoalan Partai Golkar, Afif menambahkan, mestinya hal itu dipasrahkan sepenuhnya pada mekanisme internal partai. “Kita tidak perlu mencampuri apalagi sok tahu rahasia dapur Partai tertentu. Tidak tepat ketika menggiring setiap persoalan pada kepentingan 2019 nanti. Bagi saya itu terlalu naif,” pungkasnya.