Jakarta, KabarBerita.id — Terpidana kasus terorisme Abu Bakar Ba’asyir bebas murni hari ini, Jumat (8/1). Ba’asyir telah menjalani masa pidana 15 tahun penjara dikurangi remisi sebanyak 55 bulan.
Ba’asyir divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 16 Juni 2011 karena terbukti terlibat dalam tindak pidana terorisme. Ia dinilai terbukti menjadi perencana dan penyandang dana pelatihan kelompok bersenjata di Pegunungan Jantho, Aceh pada 2010.
Berhadapan dengan hukum bukan barang baru bagi Ba’asyir. Selama masa hidupnya, ia beberapa kali harus masuk bui akibat perbuatan yang dilakukan.
Ba’asyir lahir di Jombang pada 1938 silam. Ia merupakan jebolan Pondok Pesantren Gontor dan juga merupakan lulusan Fakultas Dakwah Universitas al-Irsyad, Solo.
Di masa muda, Ba’asyir dikenal sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Islam Solo yang kemudian masuk struktur kepengurusan Pemuda Al-Irsyad Solo, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, dan Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam.
Pada awal dasawarsa 1970-an, Ba’asyir mulai merintis pendirian perguruan Islam. Ia akhirnya resmi mendirikan pondok pesantren Al-Mukmin di Dusun Ngruki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah pada 1972.
Seiring waktu berjalan, Ba’asyir berhadapan dengan pemerintahan Soeharto. Ia, bersama rekannya Abdullah Sungkar, ditangkap dengan tuduhan menghasut orang menolak asas tunggal Pancasila dan melarang hormat pada bendera Merah Putih. Ba’asyir beranggapan perbuatan itu syirik.
Selain itu, Ba’asyir juga dituding bagian dari gerakan Hispran (Haji Ismail Pranoto), salah satu tokoh Darul Islam/ Tentara Islam Jawa Tengah.
Ba’asyir mendekam di bui kali pertama dengan vonis 9 tahun penjara. Pada 1985 saat Ba’asyir dan Abdullah menjadi tahanan rumah, keduanya melarikan diri ke Malaysia.
Di negeri jiran, Ba’asyir disebut memupuk pembentukan gerakan radikal Jamaah Islamiyah (JI) yang menjalin hubungan dengan Al-Qaeda. Namun, Ba’asyir menolak dikatakan demikian.
Ia mengaku tidak membentuk satu gerakan apa pun. Meskipun begitu, Ba’asyir masuk ke dalam laporan badan intelijen Amerika Serikat (CIA).
Ba’asyir menginjakkan kaki kembali di tanah air ketika Orde Baru runtuh. Ia terlibat dalam organisasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang bertekad menegakkan syariat Islam.
Pada 8 Agustus 2002, Majelis Mujahidin Indonesia mengadakan kongres I di Yogyakarta untuk membentuk struktur kepemimpinan. Ba’asyir terpilih sebagai Ketua Mujahidin sementara. Tak lama setelah itu, ia pun kembali mengajar di Pesantren Ngruki.
Ba’asyir bolak-balik ditangkap polisi, menjalani persidangan, dan divonis penjara. Pada 18 Oktober 2002, Ba’asyir ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus bom Bali I.
Kemudian pada 3 Maret 2005, Ba’asyir dinyatakan bersalah dan divonis 2,6 tahun penjara atas konspirasi serangan bom Bali 2002, namun tak terbukti atas tuduhan terkait dengan bom 2003.
Saat peringatan Hari Kemerdekaan pada 2005, Ba’asyir menerima pengurangan hukuman dan baru bebas pada 14 Juni 2006. Pada 9 Agustus 2010 ia kembali ditangkap polisi dengan tuduhan pembentukan dan pelatihan cabang Al-Qaeda di Aceh.
Akhirnya pada 16 Juni 2011, Ba’asyir dijatuhi vonis 15 tahun penjara. Ia sempat berjuang melalui mekanisme hukum dari kasasi hingga Peninjauan Kembali (PK).
PK yang diajukan Ba’asyir ditolak Mahkamah Agung pada pertengahan 2016. Tempat penahanan Ba’asyir dipindahkan dari yang semula di Lapas Pasir Putih Nusakambangan menjadi ke Lapas Gunung Sindur.
Pada 2019, Presiden Joko Widodo sempat berencana akan membebaskan Ba’asyir dengan pertimbangan kemanusiaan mengingat yang bersangkutan sudah masuk ke usia senja alias sepuh.
Namun, Ba’asyir batal bebas lantaran menolak memenuhi syarat untuk berikrar kepada Pancasila. Ia menolak menandatangani dokumen ikrar setia kepada Pancasila lantaran di dalamnya juga berisi poin pengakuan bersalah atas tindak pidana yang menjeratnya.
Kuasa hukum Ba’asyir, Achmad Michdan, kala itu menyebut Ba’asyir enggan sepakat karena mengaku tidak pernah melakukan tindak pidana terorisme yang dituduhkan yakni perencanaan dan pendanaan latihan militer di Pegunungan Jantho, Aceh.
Hari ini Ba’asyir telah bebas. Dia keluar dari Lapas Gunung Sindur sekitar pukul 06.30 WIB, dan langsung dijemput oleh dua anaknya.
Michdan menyatakan kliennya langsung pulang ke kediaman pribadinya di Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah.