Kabupaten Bandung, Kabarberita.id – Sejak tahun 1960 lalu, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Jawa Barat dikenal sebagai kampung borondong. Makanan tradisional khas Ibun yang bahan bakunya dari beras ketan itu sudah melegenda karena menyimpan cerita sejarah dan sudah memiliki tiga generasi yang melestarikannya.
Awalnya, mayoritas warga Ibun berprofesi sebagai petani penggarap. Adalah Ema Erah salah satu warga Kampung Sangkan, Desa Laksana, Kecamatan Ibun yang pertama kali mempopulerkan borondong dan diproduksi secara masal.
Sebelum diproduksi massal, konon katanya, dulu borondong kerap disuguhkan oleh para penggarap sawah kepada majikannya yang berada di kota dan akan berkunjung ke kampung pada saat panen tiba. Karena memiliki peluang bisnis, selain Ma Erah, borondong pun kemudian diproduksi oleh warga lainnya.
Sebelum berpulang pada tahun 2014 lalu, bersama 25 perajin yang beranggotakan 40 orang pada tahun 2004 Ma Erah berhasil memecahkan Rekor Muri membuat borondong terbesar dengan bahan baku ketan seberat 2 ton dengan ukuran borondong yang diameternya 6×8 meter di Istana Plaza yang diresmikan oleh Gubernur Jabar Dani Setiawan dan Menteri Pemberdayaan Perempuan Sri Redjeki.
“Borondong yang dibuat nenek sudah dikenal sejak dulu, sebelum dikemas dan dijual masih menggunakan daun. Alhamdullilah setelah rekor muri itu efeknya bukan ke saya saja melainkan ke seluruh perajin lainnya,” kata Cucu Supriata (38) yang merupakan cucu Ma Erah atau generasi ke tiga pewaris usaha borondong saat ditemui di kediamannya, belum lama ini.
Cucu menjelaskan Ma Erah memiliki tiga anak, yaitu Yaya (63), Aceng (59), Ai Eras (57) ketiganya meneruskan usaha borondong dan Udung Jumara (52) saat ini berprofesi sebagai PNS di Pemkab Bandung.
“Dulu nenek jual borondong untuk biaya anak bungsunya sekolah yang kini menjadi PNS di Dispopar Pemkab Bandung. Dijualnya di wilayah Majalaya dan ayah saya yang memikul dagangannya, selain itu juga kadang dititipkan ke warung,” ungkapnya.
Kemampuan membuat borondong Ma Erah didapatkannya dari Ambu Endit (masih warga Kampung Sangkan). Sebelum belajar membuat borondong Ma Erah hanya disuruh oleh majikannya membawa bahan baku untuk membuat borondong ke rumah Ambu Endit.
“Jadi yang buatnya Ambu Endit, karena waktu itu banyak orderan jadi nenek saya disuru untuk belajar membuat borondong,” tambahnya.
Bahkan, karena borondonglah, pada tahun 2011 lalu Desa Laksana dinobatkan sebagai 10 Desa Wisata yang ada di Kabupaten Bandung. “Bupati Bandung pernah bilang kalau borondong punah maka status sebagai desa wisata akan dicabut,” ujar Cucu menirukan perkataan perkataan Bupati Bandung Dadang M Naser.
Sebelum neneknya meninggal Cucu sempat diberi pesan oleh Ma Erah untuk tetap mempertahankan usaha turun temurun nenek moyangnya itu, karena borondong sudah menjadi identitas warga Ibun.
“Nenek mengingatkan kepada anak dan cucunya supaya borondong tetap dilestarikan, istilahnya ini dapur kita, usaha kita, susah merintisnya, sekarang tinggal diteruskan,” ucapnya.
Satu bungkus borondong dengan berbagai ukuran dijual Rp 5 ribu, 10 ribu sampai 25 ribu ada juga yang dijual dalam bentuk kiloan.
Salah satu pengrajin borondong lainnya Ma Emi generasi kedua dari Ma Onot yang masih melestarikan borondong mengatakan, ia sudah belajar membuat borondong sejak umurmya masih berusia 12 tahun.
Selain membuat, ia juga menjual borondong tersebut dengan cara dijajakan dan berkeliling ke berbagai kampung (masih di Kabupaten Bandung) dengan cara membawanya menggunakan baskom yang diikat menggunakan sarung di punggungnya.
“Dagangnya ke Majalaya, muter saja banyakan sama Ma Erah juga danlainnya. Kalau sekarang ada yang beli kesini ngambail dan dijual lagi untuk oleh-oleh di wilayah Lembang dan Pantura,” tutur Ma Emi di kediamannya.
Selain dijual di wilayah Kabupaten Bandung, Ma Emi juga berkata jika borondong buatannya pada Tahun 1978 pernah di bawa oleh orang Selandia Baru sebagai oleh-oleh. “Bawanya 100 biji (100 bungkus),” ujarnya. (Sumber: Detiknews.com)