Jakarta, KabarBerita.id — Survei terbaru yang dilakukan oleh Institut Lazar menunjukkan bahwa Benjamin Netanyahu masih dianggap layak menjabat sebagai Perdana Menteri Israel di tengah situasi yang tidak stabil di negara itu. Hasil survei yang dirilis oleh Maariv pada Jumat (23/8) ini dilakukan terhadap 501 warga Israel dengan margin kesalahan 4,4%.
Dalam survei tersebut, 41 persen responden menilai Netanyahu sebagai sosok yang paling tepat untuk posisi perdana menteri, lebih unggul dibandingkan dengan Benny Gantz, Ketua Partai Persatuan Nasional, yang hanya mendapat dukungan 40 persen. Sekitar 19 persen responden belum menentukan pilihan mereka.
Selama tiga minggu terakhir, Netanyahu terus berada di posisi terdepan sebagai kandidat paling layak menjadi perdana menteri, meskipun ia menerima kritik terkait agresi Israel di Gaza. Survei ini juga menunjukkan bahwa blok politik Netanyahu kemungkinan akan mengamankan 52 kursi parlemen, sementara oposisi diprediksi meraih 58 dari total 120 kursi.
Artinya, tidak ada pihak yang mencapai mayoritas kursi. Untuk membentuk pemerintahan baru, koalisi perlu mengamankan lebih dari setengah suara mayoritas.
“Hal ini menciptakan lanskap politik yang terpecah-pecah,” demikian laporan Maariv yang dikutip dari Anadolu Agency.
Survei ini juga mengungkapkan bahwa partai Likud yang dipimpin oleh Netanyahu akan memenangkan 22 kursi, diikuti oleh partai yang dipimpin oleh Gantz dengan 20 kursi, dan partai Yesh Atid yang dipimpin oleh Yair Lapid dengan 15 kursi.
Kemudian, Partai Israel Beiteinu yang dipimpin oleh Avigdor Lieberman diproyeksikan mendapatkan 14 kursi, sedangkan partai-partai Arab diperkirakan akan memenangkan 10 kursi.
Survei ini muncul di tengah kritik yang diarahkan pada Israel atas agresi mereka di Gaza dan situasi kabinet yang tidak stabil. Israel juga menghadapi tekanan dari dalam negeri serta komunitas internasional. Banyak yang mendesak Netanyahu untuk segera menyetujui kesepakatan gencatan senjata, namun hingga kini hal itu belum tercapai.
Negosiasi gencatan senjata terbaru kembali menemui jalan buntu. Hamas menuduh Israel sengaja menggagalkan kesepakatan dengan mengajukan syarat-syarat baru dan memperpanjang agresi mereka.
Agresi Israel di Gaza telah mengakibatkan lebih dari 40.000 orang Palestina tewas dan ribuan rumah hancur.