Oleh: Luthfi Assyaukanie
(Sumber: FB Luthfi Assyaukanie, Jumat, 1 Desember 2023)
Dari tiga calon presiden yang akan bertanding di Pemilu 2024, Anies Baswedan adalah calon yang paling tidak diperhitungkan. Sejak awal, pencalonannya diragukan. Berbagai lembaga survei menempatkannya di urutan buncit. Jarak suaranya dengan dua kontestan lainnya pun cukup jauh.
Tak hanya itu, Anies juga calon yang paling tidak diminati penguasa. Seingat saya, tidak sekalipun presiden Jokowi menyebut nama Anies ketika dia bicara tentang calon-calon presiden Indonesia dalam berbagai pidatonya. Baru belakangan, setelah Anies definitif menjadi bakal calon presiden, Jokowi mulai menyebutnya.
Di kalangan kelas menengah, khususnya para aktivis demokrasi, Anies adalah anathema. Dia orang yang paling dibenci dan sekaligus calon yang paling tidak diinginkan untuk bersaing dalam Pilpres 2024. Alasannya tunggal: Anies dianggap bersalah melakukan politik identitas pada Pilkada DKI 2017.
Kalau bukan karena Partai NasDem dan keberanian Surya Paloh, perjalanan Anies menuju capres mungkin sudah selesai. Keputusan NasDem untuk mencalonkannya adalah sebuah terobosan bagi demokrasi Indonesia. Di tengah hasrat penguasa untuk hanya meloloskan “orang-orang dekatnya” saja, kehadiran Anies menjadi alternatif yang segar.
Perjalanan Anies ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) cukup terjal. Banyak orang pesimis bahwa dia bisa lolos menjadi capres. Tak sedikit yang menjauhinya, baik karena tak yakin bahwa dia memiliki masa depan, atau karena khawatir akan mendapatkan intimidasi dari penguasa, yang sejak awal tak menginginkannya.
Kondisi Anies mengingatkan saya pada peristiwa yang terjadi beberapa dekade lalu. Pada 1977, Nurcholish Madjid memutuskan mendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP), partai Islam yang menjadi sasaran kritiknya. Bukan hanya mendukung, Nurcholish bahkan menjadi juru kampanye partai berlambang Kabah itu.
Keputusan Nurcholish membuat beberapa temannya kesal dan heran mengapa dia mau mendukung PPP, padahal dia dikenal sebagai pengkritik partai Islam dan pencetus kredo “Islam Yes, Partai Islam No.” Jawaban Nurcholish singkat dan masuk akal. Dia mendukung PPP untuk “memompa ban kempes” dan menyelamatkan demokrasi.
Ketika itu, PPP adalah partai Islam yang kondisinya seperti ban kempes. Rezim penguasa memusuhinya dan tidak menginginkannya menjadi besar.
Saya melihat situasi yang dialami Anies persis sama seperti kondisi PPP pada tahun 1970an, ketika partai itu digembosi penguasa dan dihalang-halangi untuk menjadi besar. Dan itu juga alasan utama saya mendukungnya pada Pemilu 2024 ini. Menurut saya, Anies layak dibantu, karena dia sedang dizalimi dan digembosi penguasa.
Keputusan saya mendukung Anies tak hanya sekadar ingin membantunya berpartisipasi dalam Pilpres 2024. Lebih dari itu, saya ingin melihatnya sukses dan memenangkan pemilihan presiden nanti. Setidaknya ada tiga alasan mengapa saya mendukung Anies dan menginginkannya memimpin negeri ini.
Pertama, saya menaruh harapan pada perubahan. Dari ketiga calon yang ada, hanya Anies yang paling jelas mengusung visi perubahan. Tidak mungkin saya mengharapkan perubahan dengan tetap mengusung visi Jokowi, yang pasti bakal diteruskan oleh Ganjar atau Prabowo.
Menurut saya, hanya Anies kandidat yang mampu menghadirkan visi perubahan. Dia adalah orang yang paling jauh dari lingkaran Jokowi. Dua calon lainnya berada di bawah bayang-bayang sang presiden. Sulit mengharapkan perubahan dari mereka.
Apa yang harus diubah? Jawabannya jelas, kondisi buruk yang kita alami sekarang. Sejak Jokowi berkuasa, demokrasi dan kebebasan kita terus mengalami kemunduran. Indeks persepsi korupsi mengalami penurunan, dan pertumbuhan ekonomi jalan di tempat.
Salah satu sebab turunnya kualitas demokrasi kita adalah represi terhadap kebebasan sipil. Selama Jokowi berkuasa, ada banyak orang dikriminalisasi dan dipenjara, baik karena bersikap kritis kepada pemerintah maupun karena menyatakan sikap yang berbeda. Mentalitas ini harus diubah. Represi terhadap kebebasan warga harus dihentikan.
Suasana democratic decline yang kita alami sejak sepuluh tahun terakhir hanya bisa berubah dengan perubahan rezim. Perubahan rezim artinya mengubah pemimpin dan mindset-nya. Saya tidak melihat Prabowo dan Ganjar memiliki perbedaan mentalitas dari Jokowi. Sebaliknya, mereka berdua adalah replika dan penerus sejatinya.
Kedua, saya menginginkan Indonesia menjadi negara besar yang dipandang dunia. Bukan hanya dihormati karena pencapaian pembangunannya, tapi juga karena kehadirannya di pentas politik global. Sebagai negara dengan populasi besar, Indonesia kurang memainkan perannya di panggung internasional.
Tidak ada kandidat yang lebih fasih berbicara di forum-forum internasional selain Anies Baswedan. Bukan hanya mampu berbicara dalam bahasa Inggris, Anies juga menguasai isu-isu global dengan sangat baik. Saya tidak yakin Ganjar bisa memainkan peran ini. Prabowo mungkin bisa, tapi mengingat usia dan kondisi fisiknya, dia bukanlah orang yang tepat.
Mengapa visi global dan aktif di panggung internasional penting? Jawabannya sederhana: demi kepentingan nasional kita. Kepentingan nasional bukan hanya soal keamanan, tapi juga soal ekonomi dan politik. Salah satu hambatan mengapa kita sulit tumbuh, karena kita tidak pernah mengoptimalkan peran global kita.
Visi global hanya mungkin terwujud jika kita memiliki pemimpin yang bisa mengeksekusinya. Bukan hanya modal kepercayaan dari rakyat di dalam negeri, tapi juga kepercayaan dari komunitas internasional. Dari ketiga calon presiden yang kita miliki, hanya Anies yang memiliki reputasi internasional.
Ketiga, saya ingin melihat polarisasi dan keterbelahan dalam masyarakat kita berakhir, atau setidaknya berkurang. Selama 10 tahun terakhir, politik kita dijejali perdebatan yang tidak sehat. Salah satu sebabnya karena adanya pengerasan dari dua kelompok anak bangsa. Polarisasi terjadi karena ada dua kubu saling menimpali. It takes two to tango.
Menyalahkan polarisasi hanya kepada kelompok kanan (Islam) sambil terus merasa benar sendiri bukanlah tindakan bijak. Kelompok kanan adalah bagian dari pembentuk bangsa ini. Setiap kali mereka dipinggirkan, selalu ada reaksi berupa letupan kekecewaan atau gesekan yang mencederai kenyamanan kita semua.
Harus ada strategi nasional bagaimana mengatasi konservatisme yang intoleran. Bukan dengan cara memusuhinya, tapi dengan merangkulnya dan memberikannya ruang untuk dialog. Intoleransi tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara intoleran.
Intoleransi pada intoleransi adalah ketidakadilan. Setiap kali kita menutup ruang dialog kepada sesuatu yang tidak kita sukai, kita telah mempersempit makna kebebasan. Polarisasi lahir dari sikap-sikap tak adil dan ketakutan akan kebebasan.
Dari ketiga capres, hanya Anies yang mampu berkomunikasi dengan berbagai spektrum masyarakat, termasuk dengan kelompok kanan. Ganjar dan Prabowo punya keterbatasan, baik karena sikap politiknya maupun karena latar belakang kulturalnya.
Visi Anies dan Muhaimin (Amin) menghadirkan keadilan dan kemakmuran bagi semua. Keadilan bukan hanya bagi kaum nasionalis, tapi juga bagi seluruh anak bangsa, yang ada di kiri dan kanan.
Itulah tiga alasan mengapa saya mendukung Anies Baswedan. Di tengah gejolak politik yang makin menunjukkan kesewenang-wenangan penguasa, memilih capres yang paling jauh dari pengaruh penguasa adalah pilihan terbaik.