Jakarta, KabarBerita.id — Armenia awal bulan ini mengirim bantuan kemanusiaan ke Ukraina untuk pertama kalinya sejak Rusia menginvasi negara itu pada 2022 lalu.
Armenia merupakan negara sekutu Rusia sejak berabad-abad lalu, tepatnya sejak penaklukan Kekaisaran Rusia ke Kaukasus pada 1817-1864 silam. Negara ini juga mempercayakan keamanannya kepada Kremlin sejak runtuhnya Uni Soviet.
Langkah Armenia berdiri di barisan yang sama dengan negara-negara Barat karena Armenia frustrasi usai Rusia dinilai tak mampu atau tak mau lagi membantu mereka atas agresi Azerbaijan.
Sejak Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan berkuasa pada 2018, ketegangan antara Armenia dengan Azerbaijan meroket tajam.
Jantung konflik kedua negara yakni Nagorno-Karabakh, wilayah yang terkurung daratan di Pegunungan Kaukasus. Kawasan ini menjadi penyebab perang kedua negara selama tiga dekade terakhir.
Nagorno-Karabakh diakui secara internasional sebagai bagian dari Azerbaijan. Namun penduduknya sebagian besar adalah etnis Armenia.
Pada 2020, terjadi konflik 44 hari yang menyebabkan kekalahan telak Armenia usai Azerbaijan menyerang negara itu dengan bantuan drone dan jet tempur F-16 Turki. Sekitar sepertiga wilayah Nagorno-Karabakh diklaim Azerbaijan.
Rusia lantas turun tangan membantu mengakhiri perang kedua negara dengan menegosiasikan gencatan senjata. Kesepakatan itu mengerahkan sekitar 2.000 pasukan penjaga perdamaian Kremlin ke Nagorno-Karabakh untuk menjaga koridor Lachin.
Ini merupakan satu-satunya jalan yang menghubungkan mereka dengan Armenia.
Namun seiring berjalannya waktu, pasukan penjaga perdamaian Rusia disebut tidak mencegah pasukan Azerbaijan mendirikan pos pemeriksaan militer di sepanjang koridor Lachin. Hal itu pun membuat impor makanan sulit di daerah kantong tersebut.
Pashinyan mengatakan negaranya mulai merasakan “buah pahit” dari “kesalahan strategis” karena mempercayai Rusia demi pertahanan negaranya.
“Arsitektur keamanan Armenia 99,999 persen terkait dengan Rusia,” katanya kepada surat kabar Italia La Repubblica awal bulan ini.
“Tapi hari ini kami melihat bahwa Rusia sendiri membutuhkan senjata. Rusia tidak bisa memenuhi kebutuhan Armenia bahkan jika mereka menginginkannya,” ucapnya, Minggu (17/9).
Menurut profesor kebijakan luar negeri di American University of Armenia, Vahram Ter-Matevosyan, Armenia dan Rusia menjadi jauh lantaran Armenia merasa kesetiaannya selama ini dianggap angin lalu oleh Rusia.
Dia menuturkan Armenia rela melakukan “nyaris semua hal” yang diinginkan Rusia, termasuk menghentikan upayanya menuju integrasi Eropa pada 2013 usai Moskow menyuarakan ketidaksenangannya.
Namun meski sudah bertindak demikian, Rusia melanggar janji-janjinya terkait keamanan Armenia.
Rusia pernah berkomitmen menjamin keamanan Armenia lewat Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (Collective Security Treaty Organization/CSTO), sebuah aliansi militer negara-negara pasca-Soviet termasuk Armenia.
Namun tak ada langkah signifikan dari Rusia terutama dalam beberapa tahun belakangan.
“Rusia gagal memenuhi janjinya untuk mengamankan koridor Lachin. Rusia gagal mengirimkan senjata yang dibeli Armenia dari Rusia, Rusia gagal membatasi perilaku ekspansionis dan agresif Azerbaijan terhadap Armenia,” ucap Ter-Matevosyan.
Sebagai tanggapan, kata Ter-Matevosyan, Armenia pun merasa tidak punya banyak pilihan selain mendiversifikasi aparat keamanannya.
Azerbaijan sejauh ini membantah membuat blokade di wilayah tersebut. Rusia juga membantah pasukannya tak bertindak apapun seperti yang dituduhkan Armenia.
Keretakan antara Armenia dan Rusia ini sendiri semakin menjadi-jadi usai Armenia berencana meratifikasi Statuta Roma Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Dengan demikian, Armenia bakal diwajibkan menangkap Presiden Rusia Vladimir Putin jika Putin menginjakkan kaki di negara tersebut.
Tak cuma itu, Armenia bahkan menggelar latihan militer bersama Amerika Serikat awal pekan ini.
Latihan bertajuk “Eagle Partner” yang dimulai Senin (18/9) ini melibatkan 85 prajurit Washington dan 175 prajurit Armenia. Latihan ini berlangsung selama 10 hari.
Menurut kedua negara, latihan ini bertujuan mempersiapkan orang-orang Armenia untuk ambil bagian dalam misi penjaga perdamaian internasional.
Merespons ini, Kementerian Luar Negeri Rusia menyebut aksi Armenia ini sebagai “tindakan tidak ramah.”
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan latihan bersama Armenia dan AS tidak “membantu memperkuat suasana saling percaya di kawasan itu.”