Jakarta, KabarBerita.id — Sebanyak empat siswa di Hong Kong dijatuhi hukuman mulai dari rehabilitasi hingga penjara karena disebut merencanakan serangan bom di ruang publik.
Pengadilan Hong Kong memutuskan satu pelajar tertua dipenjara selama lima tahun, sementara tiga pelajar lainnya ditempatkan di pusat rehabilitasi remaja.
Dilansir dari AFP, hakim senior Alex Lee menyatakan terdakwa bernama Alexander Au “terbukti lebih bersalah” karena “terlibat dalam menyewa ruangan, merencanakan dan mempersiapkan, serta mengintai gedung yang telah ditargetkan.”
Dengan pertimbangan tersebut, Lee memutuskan menghukum Au dengan lima tahun dan delapan bulan penjara.
Tiga terdakwa lainnya ditetapkan sebagai “kaki tangan dalam konspirasi” dan akan dikirim ke pusat rehabilitasi remaja.
Belum diketahui sampai kapan ketiganya berada di tempat tersebut. Lama waktu rehabilitasi disebut tergantung pada evaluasi oleh petugas. Biasanya, pusat rehabilitasi menampung anak usia 14 sampai 20 tahun hingga tiga tahun.
Empat pelajar ini merupakan siswa yang kini berusia 17 hingga 21 tahun. Mereka merupakan anggota kelompok yang disebut “Returning Valiant”, kelompok yang mempromosikan kemerdekaan dari China.
Mereka juga menyerukan perlawanan terhadap undang-undang keamanan Tiongkok yang diberlakukan di Hong Kong pada 2020. Undang-undang itu sendiri dibuat untuk meredam perbedaan pendapat di wilayah tersebut.
Dalam kasus ini, kelompok tersebut diduga berencana meledakkan bom menggunakan bahan peledak TATP pada 2021, dan akan diledakkan di area publik termasuk gedung pengadilan.
Polisi Hong Kong lalu menangkap mereka pada Juli di tahun yang sama, sebelum mereka bisa mendapatkan bahan-bahan peledak tersebut.
Pada bulan ini kelompok tersebut mengaku bersalah atas tuduhan “konspirasi untuk menyebabkan ledakan”. Mereka membantah tuduhan “konspirasi untuk melakukan aksi teroris.”
Di bawah undang-undang Hong Kong, orang yang melakukan tuduhan pertama bisa dipenjara hingga 20 tahun. Sementara tuduhan kedua bisa menjebloskan seseorang hingga seumur hidup.
Ini merupakan kasus kedua yang menyeret anak di bawah umur menggunakan undang-undang keamanan nasional Hong Kong.
Kasus keamanan nasional pertama melibatkan anak di bawah umur dengan empat remaja, yang juga anggota Returning Valiant, dijatuhi hukuman penahanan di pusat pelatihan remaja. Kasus ini berakhir pada Oktober.
Saat itu, para terdakwa mengaku bersalah atas “konspirasi untuk menghasut subversi” mengenai pidato publik tentang revolusi.
Undang-undang keamanan nasional sendiri diberlakukan di Hong Kong setelah wilayah itu diguncang protes pro-demokrasi besar-besaran dan seringkali disertai kekerasan pada 2019.
Pihak berwenang mengatakan undang-undang tersebut berlaku untuk memulihkan stabilitas dan ketertiban. Namun, berdasarkan berbagai kritik, Hong Kong menggunakan regulasi itu untuk menghukum orang-orang yang berbeda pendapat.