Jakarta, KabarBerita.id — Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendesak China membuka informasi mendetail perihal Covid-19 di Negara Tirai Bambu itu.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan transparansi diperlukan untuk meninjau lonjakan kasus terbaru yang belakangan dialami China.
“Untuk membuat penilaian risiko yang komprehensif atas situasi Covid-19 di China, WHO membutuhkan informasi lebih rinci,” kata Tedros dikutip dari Akun Twitter-nya, Jumat (30/12).
“Kami tetap prihatin dengan situasi yang berkembang. Dan, kami terus mendorong China untuk melacak virus Covid-19 dan memvaksinasi orang-orang yang berisiko paling tinggi. Kami terus menawarkan dukungan untuk perawatan klinis dan melindungi sistem kesehatannya,” imbuh Tedros dalam utas di akun media sosialnya tersebut.
Sebelumnya diberitakan terjadi lonjakan kasus Covid-19 di China dalam setidaknya sebulan terakhir. Lonjakan itu terjadi setelah China mencabut kebijakan nol-Covid negara itu pada 7 Desember lalu.
Sejumlah negara pun was-was dengan ancaman penyebaran kasus Covid-19 Beijing. Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, India, Italia, Jepang, Taiwan, hingga Malaysia mulai mewajibkan tes Covid-19 bagi pelaku perjalanan atau pelancong dari China.
Terkait hal ini, China menegaskan seluruh data Covid-19 yang dipublikasi mereka sudah transparan.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin mengatakan China selama ini terbuka mengenai informasi dan data terkait virus corona.
“Sejak merebaknya pandemi, China sudah berbagi informasi dan data yang relevan dengan komunitas internasional, termasuk WHO, secara terbuka dan transparan,” katanya, seperti dikutip AFP, Jumat.
Dia kemudian melanjutkan, “Kami sejak awal sudah membagikan data sequencing virus corona baru, dengan demikian kami sudah memberikan kontribusi penting untuk pengembangan vaksin serta obat-obatan di negara lain.”
Di sisi lain, Wang juga mengatakan pengetatan aturan bagi pelancong tak diperlukan, seperti yang dikatakan para ahli kesehatan di sejumlah negara.
Badan Kesehatan Uni Eropa, salah satunya, yang mengatakan bahwa langkah tersebut tak dibenarkan untuk situasi saat ini.