Jakarta, KabarBerita.id — Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra dan Refli Harun dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi II DPR mengkritisi sifat kegentingan memaksa sehingga pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
Pemerintah harus menjalankan “due process of law” (uji hukum) sehingga kalau ada ormas yang dianggap membahayakan negara maka pemerintah bisa mengajukan ke pengadilan namun di Perppu ini tidak ada, kata Yusril dalam RDPU Komisi II, di Jakarta, Rabu (18/10).
Yusril mengatakan sejak tahun 1999 disepakati adanya prinsip “check and balances” sehingga tidak ada eksekutif kuat namun dikeluarkannya Perppu Ormas menghilangkan prinsip tersebut.
Karena itu, dia menilai sangat berbahaya kalau kewenangan membubarkan ormas yang berbadan hukum atau tidak, ada di pemerintah dalam hal ini Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
“Kalau ada satu ormas dinilai bertentangan dengan Pancasila, pemerintah bawa ke pengadilan, di sana bisa berdebat dengan argumen masing-masing lalu diputuskan pengadilan,” ujarnya.
Yusril mengkritisi Pasal 5 ayat 4 Perppu Ormas yang menyebutkan bahwa satu ormas dilarang untuk mengembangkan, meyakini dan menganut paham yang bertentangan dengan Pancasila, namun hal itu dinilainya multitafsir.
Dia mengkhawatirkan kalau ada orang yang ceramah lalu menyebutkan tujuan bernegara untuk mewujudkan negara yang “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” (negeri yang subur dan makmur, adil dan aman), lalu ditangkap aparat Kepolisian karena bertentangan dengan tujuan pemerintah mewujudkan keadilan sosial.
“Ini menjadi tafsiran luas karena yang dinilai bertentangan dengan Pancasila itu maksudnya bagaimana. Bisa saja ada ustadz ceramah soal negara yang ‘baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur’ didengar polisi lalu ditangkap karena dianggap tidak mewujudkan keadilan sosial,” katanya.