Depok, KabarBerita.id — Sudah lama tak terdengar progresnya ternyata Peraturan Daerah (Perda) Penyelenggaraan Kota Religius disebut tak disetujui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Hal tersebut diungkapkan langsung oleh Wali Kota Depok, Mohammad Idris ketika menghadiri Milad ke 22 Kumpulan Orang Orang Depok (KOOD) di Rumah Budaya, Pancoran Mas.
“Sayang sekali sudah kami sahkan di DPRD bersama-sama namun tidak disetujui oleh kementerian, Gubernur juga tidak mendukung sehingga mandek di kementerian, bahwa katanya itu ranah agama. Padahal kami tidak mengatur warga memakai jilbab maupun mengatur ibadah lainnya,” ujar Idris kepada Jurnal Depok.
Perda tersebut tidak lain untuk mengatur kerukunan umat beragama seperti kedamaian, kekompakan dan toleransi.
“Kalau ada Perda itu kami bisa belanja langsung. Misalnya kami menganggarkan di Bappeda belanja langsung untuk melakukan survei toleransi yang dilakukan oleh KOOD, kami kasih KOOD, itu kalau ada perda nya.
Sekarang enggak ada perda nya nanti ujung-ujungnya hibah. Hibah ini sekarang ketat, syarat dan laporannya enggak main-main harus hati-hati, bisa kejebak permainan-permainan hibah,” jelasnya.
Ia mengatakan bahwa alasan Kemendagri menolak Perda Penyelenggaraan Kota Religius dianggapnya hanya karena ada kata-kata religius.
“Harusnya baca dulu dong dalamnya, kalau sudah dibaca dan tahu substansinya, Insya Allah akan paham semuanya, ini hanya karena ada kata religius. Padahal visi Kota Depok sebelumnya adalah Unggul Nyaman dan Religius, itu enggak dipermasalahkan, oleh KPU pun dijadikan catatan dokumen negara,” katanya.
Lebih lanjut ia mengatakan peraturan daerah tersebut hendaknya jangan sampai menimbulkan kecurigaan dan sentimen politik.
“Padahal itu sama sekali tidak mengatur unsur politik, yang mengusulkan kami kok. Karena kami berkepentingan mengatur teman-teman Muhammadiyah, NU dan para ustad.
Sekarang kami kerepotan untuk menganggarkan pembimbing rohani. Contoh, guru mengaji harus minta tanda tangan ke jamaahnya sebagai laporan untuk mencairkan honornya Rp 400 sebulan, itu syarat dari aturan hibah, karena kami tidak memiliki perda untuk mengayomi, melindungi dan memberikan hak-hak kepada pembimbing rohani agama mana pun, itu maslahnya,” tegasnya.
Idris yang merupakan penggagas Depok sebagai Kota Sejuta Maulid itu pun menyayangkan hal tersebut. Pasalnya, kata dia, untuk membuat satu perda menghabiskan anggaran ratusan juta rupiah.
“Itu bisa Rp 300-400 juta termasuk kunjungan kerja dan lain-lainnya. Nah sekarang mandek hanya karena dimasukan ke laci Kemendagri. Sebelum jabatan saya berakhir, nanti akan kami minta kembali ke Pak Menteri termasuk Menteri Agama, kami akan minta rekomendasi.
Tolong dibantu Menteri Agama, karena ini urusan agama. Sekarang Kementerian Agama ada enggak anggaran untuk para ustad maupun acara maulid dan kegiatan keagamaan lainnya?, enggak ada. Pemerintah daerah memiliki kepentingan itu,” ungkapnya.
Meski begitu, Idris tidak berniat melakukan revisi terhadap Perda Penyelenggaraan Kota Religius. Namun pihaknya akan menyampaikan kembali bahwa perda itu tidak ada masalah.
“Ini tidak mengganggu sama sekali ranah dan kewenangan Kementerian Agama, bahkan membantu,” jelasnya.
Sebelumnya DPRD Depok telah membahas perda tersebut sejak 2019 silam. Jalan terjal ditemui dalam pembahasannya dikarenakan beberapa fraksi tidak menemui titik temu. Alhasil, di pertengahan tahun ini perda tersebut sudah disahkan oleh DPRD setelah melalui proses yang cukup panjang.