Dua mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka geram dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mencopot dua pasal dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh Nomor 11 Tahun 2006. Mereka tak terima dengan pencabutan pasal dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh.
Zakaria Saman, mantan Menteri Pertahanan GAM, mengingatkan pemerintah pusat dan DPR RI semestinya tidak gegabah memutuskan regulasi yang berhubungan dengan Aceh. Apalagi sampai mencabut pasal dalam undang-undang khusus yang diberikan setelah perjanjian damai Indonesia dan GAM.
Pasal di dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh, katanya, semua penting. Namun jika dipangkas satu per satu, hasil perjuangan rakyat Aceh akan habis dan tergerus.
“Kita semua mau apa yang dikatakan oleh Pemerintah Pusat, tetapi kita masih saja ditipu oleh Jakarta, cukup ikrar Lamteh, tapi jangan sampai dalam MoU pun kita ditipu,” kata Zakaria saat menghadiri undangan Ketua DPR Aceh dalam membahas polemik pencabutan Undang-Undang Pemerintah Aceh, di gedung DPR Aceh, pada Selasa, 17 Oktober 2017.
Hal serupa disampaikan Wali Nanggroe, Malik Mahmud Al-Haytar. Jika Aceh masih terus ditipu oleh Pemerintah Pusat atas perjanjian yang telah disepakati dalam MoU Helsinki, katanya, itu berpotensi mendatangkan konflik. “Aceh ini sudah beberapa kali ditipu oleh Jakarta, ini bukan lagi ditipu tapi sudah dikhianati; ini akan menjerus kepada konflik lagi,” kata Malik Mahmud, mantan ketua juru runding Gerakan Aceh Merdeka.
Dia tetap menghindari terjadi konflik lagi di Aceh. Namun ia meminta agar pemerintah pusat dapat menghormati keputusan yang telah disepakati dalam Undang-Undang Pemerintah .
Sebagai juru runding yang ikut langsung dalam perundingan MoU Helsinki, Malik Mahmud meminta pemerintah pusat tidak mempreteli perjanjian yang telah disepakati. Untuk menyelamatkan perdamaian Aceh, Pemerintah Pusat harus menghormati perjanjian MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintah Aceh. (mus)