KARANGASEM, Kabarberita.id – Pengungsi Gunung Agung asal Dusun Wanasawah, Kabupaten Karangasem, mengisi aktivitas selama berada di Posko pengungsian Banjar Griya Cucukan, Desa Selat, Klungkung, dengan memahat kayu yang juga sebagai bahan untuk membuat pilar rumah bermotif khas Bali.
Nyoman Nadiarta pengungsi asal Dusun Wanasawah, Desa Muncan, Kabupaten Karangasem, saat ditemui di Klungkung, Sabtu, menuturkan dengan melakukan aktifitas tersebut diharapkan menambah pendapatan dirinya selama berada di pengungsian.
“Selama di posko ini saya berusaha untuk tidak berpangku tangan dan menunggu belas kasihan donatur, saya berusaha melakukan pekerjaan sehari-hari saya dengan memahat kayu,” ujar pria yang mengaku masih bujang ini.
Ia menuturkan, sejak duduk di bangku kelas empat sekolah dasar (SD) pihaknya sudah terbiasa mengukir kayu merbau untuk dipahat dengan motif ukiran “punggel” yang merupakan ciri khas ukiran Tradisional Bali.
“Pengerjaan untuk satu batang kayu untuk membuat rumah ini bisa menghabiskan waktu 10 hari.,” katanya.
Meskipun pengerjaan ukiran kayu ini membutuhkan waktu lama, namun pihaknya mengaku pekerjaannya itu menguntungkan untuk menambah uang saku selama di pengungsian.
“Saya hanya tugas memahat kayu saja dan untuk bahan-bahan kayu ini sudah disediakan oleh perusahaan saya. Untuk ongkos memahat kayu ini dihitung per meter Rp450 ribu. Kebetulan kayu yang saya pahat ini memiliki panjang kurang lebih tiga meter,” ujarnya.
Pihaknya mengharapkan, agar Gunung Agung tidak meletus, sehingga dirinya bisa bekerja lagi seperti sedia kala di rumahnya sebagai pemahat kayu, karena lahan untuk mengerjakan pemahatan kayu di kediamannya lebih luas.
“Satu kayu berukuran tiga meter ini saya pahat bersama dua teman saya dipengungsian agar pengerjaan pemahatan kayu ini lebih cepat,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Nengah Ardana yang juga pengungsi asal Desa Muncan mengaku, selama berada dipengungsian dirinya bekerja memahat kayu bersama rekannya Nyoman Nadiarta untuk mengisi waktu luang dan menambah pendapatan saat dipengungsian.
“Kayu ukir khas Bali ini paling banyak dipesan dari Kabupaten Bangli dan berbagai perusahaan yang ada di Denpasar,” ujarnya.
Ia mengakui, saat ini sudah empat kayu yang sudah selesai dipahat dan dijual kepada pembeli. “Saat ini masih ada 10 kayu yang belum kami pahat, karena keterbatasa tempat untuk mengukir kayu ini,” ujar Nengah Ardana.