Oleh : Masz Ton
Pemerhati Komunikasi Politik
Mengutip Al Kitab : ”Kebenaran meninggikan derajat bangsa, tetapi dosa adalah noda bangsa”. (Amsal 14:34), Hasjim Djojohadikusumo membuka cerita. Adik kandung Prabowo Subianto ini ingin menyampaikan kebenaran. Ingin meluruskan salah paham yang kadung dipercaya oleh sebagian masyarakat sebagai sebuah ‘kebenaran’.
Salah paham itu adalah jika Prabowo jadi Presiden Indonesia akan jadi khilafah. Indonesia jadi seperti Suriah, Yaman, atau seperti negara Timur Tengah lainnya yang tak putus dirundung konflik. Dan akhirnya, NKRI bubar.
Di hadapan ratusan umat Kristiani Semarang, yang hadir dalam acara Seminar Kebangsaan dan Doa Bersama yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Kristen Indonesia (FKKI), Sabtu (16/02/2019), Hasjim bersaksi, tuduhan seperti itu adalah tidak benar, tidak masuk akal..
Dalam forum itu, Hasjim membeberkan bukti-bukti faktual. Dia berbicara tidak sekedar sebagai adik kandung Prabowo, tetapi juga sebagai penganut Kristen yang taat. Karena itu berkali-kali dia mengutip Amsal 14:34.
“Tidak masuk akal Prabowo ingin mendirikan khilafah. Saya tahu persis siapa kakak saya!” ucap Hasjim.
Maka berkisahlah dia tentang Pilkada DKI Jakarta tahun 2012. Tentang Prabowo yang menawarkan Walikota Solo bernama Joko Widodo kepada Megawati. Tentang penolakan Megawati terhadap Jokowi karena sudah punya jagoan lain untuk Gubernur Jakarta periode 2012-2017. Sampai ibu ketua umum partai berlogo banteng ini akhirnya luluh dengan kengototan mantan Danjen Kopassus itu dan akhirnya bersedia mencalonkan Jokowi sebagai Cagub DKI Jakarta.
Cagub selesai. Giliran Cawagub. Prabowo mengajukan nama Ahok. Hasjim yang menolak keras. “Saya Kristen, tapi saya menolak Ahok. Saya tidak suka dengan dia,” tandasnya.
Prabowo tetap ngotot harus Ahok. Hasjim pun demikian tetap ngotot jangan Ahok. Perseteruan kedua kakak beradik ini lumayan keras soal Ahok ini. Tapi, ternyata bukan hanya Hasjim yang tidak menginginkan Ahok. Jokowi juga tidak mau Ahok. Dia ingin Sandiaga Salahuddin Uno, yang kini jadi Cawapresnya Prabowo, sebagai pendampingnya.
“Alasan yang disampaikan Jokowi dalam sebuah pertemuan, yang saya hadir di situ, karena suara Kristen dan China kecil. Jokowi takut kalah. Prabowo menjawab, kan ada suara umat Kristiani lainnya dari orang Batak, Minahasa, Toraja, Ambon, Papua,” kisah Hasjim lagi.
Prabowo tetap ngotot. Dan Prabowo menang lagi. Hasjim mengalah. “Setelah dia (Ahok) minta maaf saya menerma. Saya juga harus menghormati orang yang lebih tua, saya hormati kakak saya,” tutur dia.
Dengan sikap Prabowo yang seperti itu, yang memberikan peluang bagi minoritas ganda (double minority), agama dan etnis, seperti Ahok untuk menjadi pemimpin di Jakarta, yang mayoritas penduduknya muslim, masuk akalkah jika disebut Prabowo ingin mendirikan khilafah, mengabaikan toleransi, antikebhinekaan, radikal, dan sebutan negatif lainnya.
Ahok dan Jokowi sejatinya bisa menuturkan hal yang sama dengan apa yang diceritakan Hasjim. Keduanya tidak seharusnya membiarkan para pendukungnya terjebak dalam kesalahpahaman berkelanjutan. Kesalahpahaman ini bisa makin meluas dan berpotensi membelah bangsa. Apalagi jika dimanfaatkan untuk kepentingan elektoral.
Indonesia tidak boleh terbelah oleh kepentingan elektoral lima tahunan. Indonesia terlalu berharga untuk dikorbankan demi upaya mendulang suara. Karena itu hindari kata-kata hiperbola, lebay, yang berpotensi membelah rakyat seperti ucapan ‘perang total’ dari seorang pejabat aktif di pemerintahan.