Jakarta, KabarBerita.id- Menteri Pertahanan Republik Indonesia (Menhan RI) Ryamizard Ryacudu menerangkan generasi ketiga terorisme setelah Al-Qaeda saat memberikan kuliah umum di School of International Studies S Rajaratnam, Singapura, Kamis.
Menhan menjelaskan sejak generasi ketiga, setelah Al-Qaeda dan DAESH (ISIS) yang telah dihancurkan di Timur Tengah (Irak dan Syria), penanganan ancaman teroris memerlukan komitmen dan tindakan bersama yang kongkret dan serius.
Menurut dia, secara umum di kawasan ASEAN saat ini kita sedang menyaksikan dan berhadapan langsung dengan 3 (tiga) generasi pergerakan jihad teroris global.
Tiga generasi pergerakan global itu ialah Al Qaeda sebagai generasi Pertama yang menyerang Gedung WTC di AS 2001 yang kemudian menjadi ancaman di berbagai belahan dunia di Asia, Afrika, Timur Tengah dan Eropa.
“Ancaman teroris generasi kedua adalah Jihad Global ISIS Syria dan Irak setelah `Abu Bakar al-Baghdadi` mengumumkan pembentukan khilafah dan negara ISIS pada bulan Juni 2014,” jelas Menhan dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta.
Ancaman teroris global generasi ketiga yaitu menyebarnya ancaman ISIS ke seluruh belahan dunia, setelah kekalahan ISIS di Timur Tengah, kelompok separatis itu mulai menyebar ke wilayah Afrika, Eropa dan Asia Timur serta Asia Tenggara pada khususnya, katanya.
“Ciri Khusus dari ancaman terorisme generasi ketiga ini adalah kembalinya para Pejuang ISIS (Foreign terrorist Fighter) dari Timur Tengah. Berdasarkan data Intelijen Kemhan ada sekitar 31.500 Pejuang ISIS asing yang bergabung di Syria dan Irak,” kata mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) ini.
Dari jumlah tersebut 1000 berasal dari Asia Tenggara serta 800 dari Indonesia. Jumlah tersebut memenuhi 40 persen dari keseluruhan pejuang ISIS di kedua wilayah tersebut, ucap Ryamizard.
Menhan pun menuturkan, ancaman radikal dan terorisme generasi ketiga ini memiliki sifat-sifat alamiah yaitu berbentuk desentralisasi ke dalam wilayah provinsi-provinsi.
Mereka juga berbentuk sel-sel tidur serta Operasi Berdiri Sendiri (Lone Wolf) dan radikalisasi dengan online, media sosial dan penggunaan teknologi canggih.
“Daulah Islamiyyah Katibah Nusantara yang merupakan aliansi dari Divisi Islamic State Asia Timur yang merupakan penggabungan antara Islamic State Phillipines, Islamic State Malaysia dan Islamic State Indonesia di bawah kendali struktur ISIS Pusat yang dipimpin oleh Abu Bakr al-Baghdadi yang berbasis di Syria dan Irak,” tutur Menhan.
Filipina juga akan tetap menjadi teater yang paling penting bagi ISIS di Asia Tenggara di masa yang akan datang. Para rekrutan ISIS yang dilatih di Filipina cenderung menargetkan negara-negara di kawasan ini, termasuk di Indonesia.
“Kemudian dari Poso ke Bima dan berlanjut ke Bali sebagai tempat transit. Kemudian bergerak ke Malang, selanjutnya Solo dan Yogyakarta di Jawa Tengah, Tasikmalaya, Jawa Barat berlanjut ke Solo, Jakarta dan Banten di Provinsi Lampung, Riau dan Aceh,” jelas Menhan.
Selain perkembangan ISIS di kawasan Laut Sulu dan Filipina Selatan yang terus menghantui, Menhan berpesan, saat ini juga perlu menaruh perhatian khusus atas krisis Rohingnya di Rakhine State, Myanmar.
Menhan pun menegaskan, soft launching `Our Eyes` pada tanggal 25 Januari 2018 yang lalu di Bali diharapkan akan dapat memperkuat ketahanan dan kerja sama regional.
“Konsep ini adalah murni kerjasama untuk mengatasi Ancaman Terorisme dan radikalisme di kawasan tanpa adanya agenda Politik di dalamnya,” kata Menhan.
Ryamizard mengungkapkan ada tiga hal yang menjadi prioritas dalam Kerangka Kerja “Our Eyes” ini, diantaranya pemantauan lalu lintas keuangan kelompok teroris ke kawasan ASEAN.
“Kita juga melakukan pemantauan para pejuang ISIS yang kembali dan keluar masuk kawasan. Berdasarkan data kami ada sekitar 31.500 Pejuang ISIS asing yang bergabung di Syria dan Irak, dari jumlah tersebut 1000 berasal dari Asia Tenggara serta 800 dari Indonesia,” papar Menhan.
Ryamizard menambahkan, konsep yang ketiga dari kesepakatan `Our Eyes` adalah pemantauan media sosial.
Menhan menilai saat ini negara-negara di ASEAN perlu membentuk kelompok kerja baru untuk mengidentifikasi bagaimana para teroris menggunakan media sosial.
“Kita mesti mengetahui apa yang tengah mereka gunakan, dan cara untuk menghentikan penyebarannya,” tutur Menhan.