Ankara, KabarBerita.id – Konstantinopel alias Istanbul menjadi cerita lama ketika sebuah dinasti yang menamai kota itu sebagai Bizantium mencapai puncak kejayaannya.
Kala itu Kaisar Romawi Konstantin I menjadikan kota di tepi Selat Bosphorus itu sebagai Ibu Kota Kekaisaran Romawi pada 11 Mei 330 M.
Meski Konstantin sempat menamai kotanya Nova Roma (Roma Baru), tetapi nama tersebut tidak pernah digunakan secara umum. Dan nyatanya pun Konstantinopel dan Kekaisaran Romawi Timur akhirnya jatuh kepada Kekaisaran Ottoman pada 29 Mei 1453.
Awalnya Konstantinopel tetap pada fungsinya sebagai ibu kota. Namun, ketika Republik Turki dibentuk, posisi tersebut pun direbut dari Konstantinopel.
Rezim pun berpindah, dan tepat pada 13 Oktober 1923, ibu kota Turki beralih ke Ankara yang sebelumnya dikenal dengan nama Angora atau Enguru. Di masa Romawi, kota tersebut dikenal sebagai Ancyra dan di masa Hellenistik sebagai Ankyra.
Kota terbesar kedua di Turki itu memiliki peran sangat penting dilihat dari sisi ekonomi dan industri.
Kota itu terletak di daerah terkering di Turki dan dikelilingi daerah stepa dengan berbagai situs arkeologi dari masa Ottoman, Bizantium, dan Romawi.
Namun, harus diakui bahwa Turki mengalami tahun-tahun peralihan yang tidak mudah saat awal ibu kota berpindah.
Kesulitan perpindahkan ibu kota dirasakan pada masa-masa Pemerintahan Ataturk, namun Mustafa Kemal tidak menyerah sebab ia memiliki alasan yang kuat untuk memindahkan pusat pemerintahannya ke Ankara.
Dengan mempertimbangkan lokasi Ankara yang strategis atau berada di tengah Asia kecil, sementara daratan Turki 97 persen di antaranya berada di Asia kecil maka hal itu akan membuat Ataturk lebih mudah mengontrol pemerintahannya dari barat ke timur. Daripada tetap menjadikan Istanbul sebagai ibu kota.
Ataturk sekaligus ingin mendegradasi kebencian para ulama terhadapnya yang ingin melanggenggang sekularisme, ia tak ingin menghapus sejarah tentang Istanbul yang telah berabad-abad menjadi simbol kekhalifahan Utsmaniyah.
Oleh karena itu, ia pun membangun sejarah baru sebuah demokrasi berbasis sekarisme di Ankara sebagai pusat pemerintahannya.
Kenyamanannya Kini Namun, cerita lama yang penuh perjuangan itu kini membuahkan hasil yang tak saja menggembirakan, namun membuat Istanbul sebagai bekas ibu kota mampu menjadi landmark lain bagi Turki.
Setidaknya hal itulah yang dapat dirasakan oleh Duta Besar RI untuk Turki Wardana yang mengatakan bahwa Ankara yang dalam sejarahnya hanyalah stepa yang kering dan tandus kini merupakan salah satu ibu kota paling nyaman di dunia.
Tidak sekadar sebagai pusat pemerintahan, banyak pelaku usaha menancapkan kerajaan bisnisnya di kota terbesar kedua di Turki itu.
“Sebetulnya bukan hanya pusat bisnis itu di Istanbul, tapi di Ankara juga sangat besar perusahaan-besar, sebagian besar sekitar 70 persen ada di Ankara beberapa ada di Istanbul. Memang kalau kita lihat pusat pemerintahan memang sangat nyaman sekali Ankara ini,” ucapnya.
Menurut Wardana, menjadikan Ankara sebagai pusat pemerintahan menjadi ide yang baik bagi Pemerintahan Turki karena hiruk-pikuk tidak menjadi terpusat di satu tempat.
“Trafiknya tidak terlalu berat kemudian lingkungan cukup nyaman untuk tinggal. Kita lihat kalau di Istanbul kan terlalu padat dan komunikasi kita sangat efektif, perjalanan dari satu tempat ke tempat lain untuk ketemu dengan kolega bisnis cukup efektif,” ujarnya.
Ia juga melihat pemilihan Ankara sebagai ibu kota sangat cerdas, sehingga pemerintahan dan laju ekonomi berjalan dengan efektif meskipun tentunya mobilitas para pejabat sangat tinggi, baik untuk ke Istanbul maupun ke Ankara.
“Jadi seperti Presiden Erdogan sering juga berkantor di Istanbul karena kegiatan internasional, konferensi-konferensi internasional banyak dilakukan di Istanbul,” tuturnya.
Ankara yang memiliki kontur pegunungan tandus layaknya gurun pasir di sisi lain sementara di lain tempat adalah gunung bebatuan yang sama sekali tidak subur.
Kini bertransformasi sebagai pusat pemerintahan tanpa diganggu hiruk-pikuk kegiatan industri.
Sementara Istanbul yang bisa dicapai dengan penerbangan kurang lebih satu jam dari Ankara adalah kota wisata yang menyedot begitu banyak pengunjung setiap saat.
Merahnya Revolusi Bukan mudah bagi Ankara untuk mencatatkan diri sebagai ibu kota bagi sebuah negara yang sebagian besar masyarakatnya adalah muslim, sementara sekuler menjadi paradigma dalam menjalankan pemerintahan.
Ankara setidaknya pernah menjadi saksi bagi merahnya revolusi sekaligus ancaman teroris yang kerap kali mendatangkan citra sebagai kota yang tidak aman.
Tercatat beberapa kali bom meledak di berbagai sudut di kota itu. Bahkan Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi menyebut Turki sebagai laboratorium dalam hal tantangan terorisme.
Ia menilai Turki memiliki tantangan berat karena memiliki posisi yang sangat strategis dalam artinya banyak sekali “Foreign Tourist Fighters” (FTF) yang pergi ke Suriah melalui Turki.
“Selain itu, juga karena letak geografisnya yang berdekatan dengan Suriah sehingga menerima banyak sekali pengungsi dari Suriah yang jumlahnya lebih dari 2 juta orang,” ujarnya.
Ankara sekaligus pernah menjadi saksi bagi sakit hatinya rakyat Turki saat Presiden Erdogan membangun Beyaz Saray atau White Palace di pinggiran kota itu dengan anggaran yang mencengangkan. Sementara budget negara bagi pendidikan masyarakatnya justru diabaikan.
Namun, Erdogan berkeras bahwa pembangunan Beyaz Saray itu merupakan upaya nyata pemerintahannya untuk membangun eksistensi.
Kini, siapapun ke Turki tak hanya ingin menginjakkan kakinya di Ankara, namun bekas ibu kota, Istanbul, adalah impian lain untuk dikunjungi.
Wajar jika geliat pariwisata Turki menjadi cara lain bagi negeri yang menjadi tempat berakhirnya Dinasti Utsmaniyah itu untuk memacu gerak ekonominya.
Maka berkaca pada Turki, nyatanya tidaklah mudah untuk memindahkan ibu kota. Ia perlu waktu hingga hampir satu abad untuk menjadikan segalanya berjalan seperti yang diinginkan. (ant)