Berita  

Munas Ulama NU Bahas Pasal Perzinahan Hingga Penistaan Agama

Presiden saat berada di NTB pada Kamis kemarin. (Foto: Setkab)

Mataram, KabarBerita.id — Munas Alim Ulama Nahdatul Ulama menyoroti sejumlah isu dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).

Pimpinan Sidang Komisi Bahtsul Masa’il Qonuniyyah atau perundang-undangan, Zaini Rahman, mengatakan ada empat isu krusial yang menjadi perhatian khusus peserta bahtsul masa’il di dalam RUU KUHP.

Empat isu krusial RUU KUHP tersebut, yakni perluasan pengertian asas legalitas, dimana KUHP harus mengakomodir hukum-hukum yang ada di masyarakat Indonesia.

“Baik hukum adat maupun agama di luar pasal-pasal yang ditetapkan KUHP,” katanya di sela-sela memimpin sidang Komisi di Pesantren Darul Falah Mataram, Jumat (24/11).

Selanjutnya, peran pihak keluarga korban dalam mempengaruhi putusan hakim.

Zaini menuturkan pihak keluarga korban memiliki dua hak, yaitu hak restorasi atau pemulihan korban dan hak pemaafan.

Di dalam Islam ada istilah hudud yang diberikan kepada korban dan ini menjadi pengadilan yang bersifat memulihkan atau restoratif bagi korban.

“Misalnya di situ ada penyelesaian secara kekeluargaan dalam bentuk ganti rugi dan sebagainya,” jelasnya.

Kemudian, lanjutnya, yang juga menjadi sorotan, yakni perluasan perzinahan.

Selama ini, KUHP memberlakukan delik perzinahan manakala pelakunya sudah berkeluarga, sedangkan orang yang belum menikah dan melakukan perzinahan atas dasar suka sama suka, maka tidak terkena delik ini.

“Di sini diperluas. Orang yang tidak menikah pun kalau dia melakukan pernikahan di luar pernikahan maka masuk ke dalam kategori zina,” tegas Zaini Rahman.

Selanjutnya penodaan agama, ia menyebutkan agar proses hukumnya lebih terukur, baik secara pembuktian ataupun delik maka istilah penistaan agama bisa diganti dengan penghinaan agama.

Adapun untuk hukuman mati, Zaini menjelaskan sejak dulu Nahdlatul Ulama (NU) mendukung hukuman mati sebagai hukuman maksimal, bukan mutlak.

Menurut dia, hukuman maksimal tidak jadi dilaksanakan ketika ada pertimbangan-pertimbangan Hak Asasi Manusia.

“Tetapi sebagai hukuman maksimal tidak boleh dihapus,” katanya.

Tinggalkan Balasan