Berita  

Sudirman Said: JK Tokoh Berpengaruh dengan Atau Tanpa Jabatan

JAKARTA, Kabarberita.id – Ketua Institut Harkat Negeri, Sudirman Said menyebut Jusuf Kalla sebagai salah satu orang berpengaruh di Indonesia. Rekam jejaknya di berbagai bidang mulai pengusaha, politisi, aktivis sosial kemanusiaan, perdamaian, keagamaan, sampai pemerintahan, menjadikan JK tokoh yang memiliki pengaruh besar.

“Dengan rekam jejak seperti itu, JK merupakan tokoh berpengaruh, dengan atau tanpa jabatan melekat padanya,” kata Sudirman Said dalam diskusi yang membahas peninjauan kembali (judicial review) Pasal Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden dalam UUD 1945, Sabtu (21/7) di Jakarta.

Melihat rekam jejak yang demikian, Sudirman tidak meyakini JK dalam posisi menawar-nawarkan diri untuk kembali menduduki posisi Wapres seperti yang selama ini diwacanakan sejumlah pihak. “Apalagi beliau sendiri sudah menyatakan ingin istirahat mengurus anak cucu,” terang dia.

Terkait upaya judicial review terhadap Pasal Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wapres itu sendiri Sudirman berpendapat, ibarat rumah UUD adalah pondasi dasar yang tidak boleh sebentar-sebentar dirombak. Karena hal itu akan berpengaruh pada stabilitas bangunan.

“Kalau pondasi sering dirombak bangunan tidak akan stabil, mudah goyah. Kalau UUD sering diubah-ubah hanya untuk kepentingan politik jangka pendek bangsa ini akan kehilangan referensi yang kuat,” imbuh dia.

Sudirman berharap, JR pasal pembatasan masa jabatan Presiden dan Wapres jangan dijadikan akal-akalan demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan.

“Ide dan tindakan untuk menafsirkan kembali pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen yang berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Sebelum diubah, Pasal tersebut berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.” — merupakan suatu politik akal-akalan,” terang Sudirman .

Menurut Sudirman, pasal tersebut tidak bisa dipersoalkan kembali karena teks tersebut memuat pesan reformasi yang sangat kuat: pembatasan kekuasaan (dari segi waktu). Mereka yang mengerti reformasi dan ingin menegakkan agenda reformasi, tentu mudah memahami mengapa demikian itu susunan kata dalam pasal 7. Dengan membaca kembali rumusan yang digantinya, telah teramat jelas, maksud dan tujuannya.

“Kalau ada yang mengatakan bahwa teks tersebut masih memungkinkan tafsir lain, tentu didasarkan pada pikiran yang berada di luar semangat pembatasan kekuasaan. Apakah ini pesan bahwa di dalam praktek demokrasi telah menyusup semangat melanggar semangat pembatasan kekuasaan, dan bahkan sedang bekerja operasi melebarkan kekuasaan. Suatu potensi ke arah machtsstaat. Kita tidak boleh membiarkan ancaman ini tumbuh,” kata dia.

Ide untuk menafsirkan kembali pasal 7 UUD 1945, tidak bisa dilepaskan dari konteks pilpres 2019. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa petahana, menghendaki agar JK bisa kembali bersama. Penghalang utama JK adalah pasal yang membatasi masa jabatan, karena JK telah dua kali menjabat kedudukan sebagai wakil presiden.

“Tentu pertanyaan besarnya adalah mengapa negarawan sekelas JK bersedia untuk memperlihatkan kerja dari politik akal-akalan? Atau JK sebenarnya adalah obyek dari politik akal-akalan tersebut?”

Pertanyaan besar bangsa adalah mengapa elit seperti hendak mempertontonkan kemampuannya untuk bertindak di luar kewajaran, atau bahkan telah melampaui kepatutan dan aturan yang berlaku. Mengapa dapat muncul pikiran mengubah aturan pertandingan, yang melawan prinsip dasar demokrasi?

“Mengapa bukan semangat melindungi kepentingan nasional, kepentingan bangsa dan rakyat, dengan cara memperkuat pembatasan kekuasaan (oleh karena kita pernah mengalami situasi dimana kekuasaan menuju absolut, dan karena itu reformasi diselenggarakan), dan malah tendensi yang sebaliknya? Apa sebenarnya yang sedang terjadi?” tanya Sudirman lagi.

“Kita perlu mengetuk pintu hati elit, kaum terpelajar dan bangsa Indonesia: saatnya demokrasi kembali bekerja. Demokrasi yang sehat, demokrasi yang digerakkan oleh akal budi dan bukan oleh politik akal-akalan. Para ahli hukum tata negara, para guru besar, akademisi dan siapa saja yang peduli pada masa depan bangsa, pasti akan terpanggil untuk merawat demokrasi dan memastikan demokrasi bekerja seperti maksud diadakan. Hanya dengan demokrasi sehat, pergerakan pembangunan bangsa akan mencapai cita-cita proklamasi kemerdekaan,” pungkas Sudirman.

Tinggalkan Balasan