Kebebasan Pers dalam Ancaman

Editorial KabarBerita

Senin, 4 Juni 2018

KabarBerita.id — Kemerdekaan dan kebebasan pers adalah anak kandung reformasi. Pers yang selama order baru penuh dengan kekangan dan intimidasi dari penguasa berubah menjadi pers yang independen dan menjadi pilar keempat demokrasi.

Segala hal tentang cita kebebasan pers pun diatur dalam UU yang juga lahir dari reformasi, UU Pers No 40 Tahun 1999. Di dalamnya diatur tentang arah pers nasional, hak, kewajiban pers termasuk hak dan kewajiban narasumber.

Kini, kita menikmati benar kebebasan pers ini. Pers menjadi merdeka untuk menentukan sikap, terhadap siapa saja. Sebagai pilar keempat demokrasi, pers di satu sisi mengukuhkan bangunan tiga pondasi lainnya yakni pemerintahan (eksekutif), parlemen (legislatif) dan peradilan (yudikatif).

Makna pilar demokrasi keempat juga bisa diartikan sebagai ‘penjaga’ marwah tiga pilar lain. Jangan heran jika penjaga memang harus bersikap ‘galak’. Karena memang itulah tugas seorang penjaga. Memastikan tiga pilar lainnya tidak melenceng. Melenceng sedikit, pers sebagai perwakilan suara publik akan langsung memperingatkan. Peringatan dari pers memang kerap bernada ‘keras’.

Dua wajah pers sebagai pengukuh sekaligus penjaga nampaknya menemui ujian hari-hari ini. Ketidakpuasan golongan terhadap sebuah pemberitaan ternyata disalurkan dengan jalan kekerasan, intimidasi dan ancaman verbal. Menariknya tindakan intimidasi ini dilakukan oleh partai yang sedang berkuasa.

Pemberitaan di Harian Radar Bogor soal besaran pendapatan untuk Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) disikapi dengan cara yang justru anarkis. Anarkis sebab yang menjadi sasaran adalah lembaga pers resmi yang diakui oleh Dewan Pers. Dalam UU Pers, perlindungan terhadap pekerja media amat ketat. Tidak boleh ada yang mengintimidasi, dalam bentuk apapun, agar independensi pers tetap terjaga. Bahkan, seorang presiden sekalipun.

Belum reda soal intimidasi berupa penggerudukan kantor dan perusakan beberapa properti di kantor Radar Bogor, petinggi partai yang sama melontarkan intimidasi verbal. Kader partai siap meluluhlantakkan kantor media jika memberitakan hal yang sama di daerahnya. Sebuah ancaman langsung dan nyata terhadap kebebasan pers.

Ditambah lagi komentar yang terkesan buru-buru dari kepolisian yang menyebut penggerudugan kantor Radar Bogor tidak memiliki unsur pidana. Komentar dini dari aparat ini ditakutkan akan menjadi perseden, bahwa mengeruduk dan mengintimidasi sebuah kantor media diperbolehkah. Toh menurut polisi tidak ada pasal pidana yang akan menjerat.

Pers, sebagai institusi juga memiliki pengawas dalam bentuk Dewan Pers. Jika pihak-pihak yang diberitakan merasa dirugikan, ada mekanisme yang bisa ditempuh sesuai dengan koridor hukum. Sebagai partai penguasa, seharusnya banyak anggotanya yang paham tentang isi UU Pers. Tetapi apakah yang merasa dirugikan berpegang teguh pada hukum atau justru memilih cara-cara jalanan? publik yang bisa menjawabnya.

Presiden Joko Widodo sebagai salah satu kader partai penguasa mau tidak mau harus diakui mendapatkan dukungan yang besar dari media arus utama. Sebuah dukungan yang jarang didapatkan oleh presiden-presiden sebelumnya. Tetapi jika pada sisi yang lain, partai penguasa justru menujukkan ancaman terhadap kebebasan pers, lalu dimana wajah sederhana, merakyat, ndak neko-neko dan apa adanya itu?

Pers memang bisa melakukan kesalahan. Tetapi mekanisme untuk mengoreksinya sudah ada aturannya. Tidak boleh cara-cara koboi dipraktikkan untuk membenarkan pemberitaan yang salah. Hal ini berlaku tentu bagi siapa saja, baik partai-partai yang mendukung penguasa maupun partai-partai yang berseberangan dengan penguasa.

Lalu, apakah kita masih bisa menggaungkan Kebebasan Pers?

Tinggalkan Balasan